Lepasin Ajahh
Lepasin aja udah ndak papa.
“Mù!” Komandan mencengkeram tangan Mù dengan satu genggaman erat di dekat tepi jurang. Angin dingin menghempas wajah mereka, membawa aroma tanah basah dan kehampaan dari kedalaman jurang yang tak terlihat dasarnya.
“Tahan aku!” Mù berteriak, suaranya serak dan putus asa.
Tubuh Mù berayun berusaha menarik dirinya naik. Keringat membanjiri dahinya, mengalir ke matanya yang menyipit menahan perih.
“Bertahanlah, Mù! Tidak akan kulepaskan!” Komandan You menggertakkan giginya, pembuluh di tangannya menonjol saat ia mengerahkan seluruh kekuatannya.
Mù menundukkan kepalanya, menatap kehampaan hitam yang menganga di bawahnya. Angin dingin menerpa wajahnya yang pucat. Ketika ia mengangkat pandangannya kembali ke arah Komandan, seulas senyum muncul di wajahnya yang berlinang air mata.
“Sudah, lepasin aja, Ndan.”
Komandan You terdiam, wajah berubah. Waktu seakan berhenti. Otaknya berusaha memproses kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Mù.
“Maksudnya?” tanya Komandan, matanya melebar tak percaya.
“Udah… gapapa. Lepasin aja,” jawab Mù. Suaranya tenang, kontras dengan situasi genting yang mereka hadapi.
“Ndak, ndak! Nda, nda, nda bisa!” Komandan You berteriak panik, genggamannya semakin mengerat.
“Ndak papa…” Mù tersenyum lemah.
“Tapi… tapi aku—”
“Bisa mulai lagi…”
“Hilang… kereset—” Suara si kommandan melemah
“Tidak perlu dimasalahin—”
“Kamu tidak capek harus ngulang dari awal?”
Mù menatap Komandan lekat-lekat. Matanya jernih, tanpa keraguan. Ekspresinya bukan lagi keputusasaan, tapi ketenangan yang tulus.
“Sejujurnya… rela aku mengulanginya, bareng kamu.”
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara angin yang berhembus di antara jeda panjang. Setetika, Mù mengangkat tangan sebelahnya, menyentuh genggaman Komandan You dengan lembut, berusaha melepaskan diri perlahan.
“Tidak, tidak, tidak…!” Komandan berusaha mempertahankan cengkeramannya.
“Komandan.” Suara Mù menembus kegentingan situasi. Tatapannya mantap dan penuh arti. Ia pun mengangkat tangannya yang bebas dan memberi hormat. Gestur itu sederhana namun sarat makna.
Komandan menatapnya, tangannya masih berusaha menahan. Namun melihat ekspresi Mù yang sudah pasrah, ia akhirnya membalas hormat itu dengan tangannya yang gemetar. Air matanya menggenang, menolak untuk jatuh.
Mù tersenyum untuk terakhir kalinya. Senyum tulus dan damai. Lalu dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan diri sepenuhnya dari genggaman Komandan.
Satu tarikan napas panjang mengisi dadanya sebelum tubuhnya jatuh, perlahan menghilang ditelan kehampaan jurang. Sosoknya semakin mengecil, sampai akhirnya lenyap dalam kegelapan tak berdasar.